Penyimpangan Ma’nawi dan Target Ta’lim
Perusakan iman lainnya antara lain di dalam pelaksanaan tilawah atau ta’lim, indoktrinasi lebih ditekankan kepada jasa dan perjuangan serta usaha Kartosoewirjo di dalam menegakkan Daulah Islamiyah dan menentang atau memerangi Penguasa Jahiliyyah (RI) maupun penjajah (Kolonial Belanda dan Jepang). Praktek kesadaran bertauhid dalam mengaplikasikan al Wala’ dan al Bara’ lebih diacukan kepada perwujudan yang telah dilakukan oleh Kartosoewirjo dan NII, yang digambarkan sabar, gigih dan istiqamah. Pada akhirnya baik qiyadah maupun uswah dalam pelaksanaan iman dan Islam menurut doktrin NII tidak ada yang lain yang lebih tepat dan patut kecuali diberikan kepada Kartosoewirjo, Imam pertama Negara Islam Indonesia dan para pelanjut estafeta kepemimpinan NII. Secara otomatis dalam waktu yang bersamaan, bersikap membenci, menentang dan melepaskan terhadap setiap ikatan non-Islam (non-NII) atau sistem Jahiliyyah, apapun bentuknya adalah suatu keharusan yang mutlak dan absolut.
Inilah efek tragis dari doktrin mulkiyah yang sesungguhnya telah nyata-nyata mulhid, keluar dari rel tauhid yang benar. Disebut mulhid, karena doktrin itu mengajak kepada upaya melepaskan diri dari kewajiban dan tanggung jawab untuk tetap menjaga komitmen dan konsistensi dalam memberikan ketha’atan kepada Rasul SAW dan Khulafa ur Rasyidin (Tauhid al Ittiba’). Sebaliknya, hanya mencukupkan diri ittiba’ kepada figuritas dan prestasi al Mubtadi’ Kartosoewirjo yang sama sekali tidak memiliki legitimasi Qur’ani dan Haditsi di dalam melaksanakan peribadatan – fiqh ‘ibadah, muamalah & harakah. Doktrin itu disadari atau tidak telah membawa kepada sikap keberagamaan yang primordial paganistis seperti layaknya agama Abana (agama nenek moyang) yang jauh dari Iman serta keikhlashan. Akar pemahaman dan tafsir sesat yang lucu dan liar ini kemudian disandarkan pada ayat yang suci dan luhur di bawah ini:[6]
“Sungguh telah ada bagi kalian contoh dan teladan yang baik dalam diri Rasulullah SAW, bagi orang-orang yang mengharap pertemuan dengan Allah dan hari akhir.” (QS 33:21).
Penekanan pada metode brain washing dalam tilawah, tazkiyah maupun ta’lim dalam rangka memasukkan nilai-nilai simbolik dalam beragama (yang ternyata telah di-degradasi), akibatnya konsep Tazkiyyah yang meliputi dimensi Aqidah-Pemikiran, dimensi Ruhiyah-Bathiniyah dan dimensi Ruhiyah-Bathiniyah dan dimensi Fisik-Pengamalan ibadah tidak saja mengalami distorsi, tapi malah lebih parah lagi yaitu memasuki wilayah kekeliruan tafsir yang menghasilkan pseudo conclution.
Tazkiyah di bidang Aqidah-Pemikiran tidak lagi diacu kepada sikap yang merujuk dan ittiba’ terhadap apa yang ditetapkan dan dikehendaki oleh wahyu maupun nubuwwah --atau upaya rasionalisasi sebagai pembelaan dan menjaga kemurnian serta keagungan dari para hamba dan makhluq-Nya terhadap nilai dan prinsip Iman maupun Islam-- sebagaimana keteladanan yang dicontohkan oleh para shahabat Rasul SAW serta para salaf. Akan tetapi, oleh NII (khususnya NII KW-9), masalah aqidah-akal pemikiran justru malah dibebaskan untuk mencari dan melakukan kreasi dalam berpikir serta memikirkan bagaimana bisa mendzhahirkan Iman dan Islam menurut kemampuan masing-masing sebagai manusia, asalkan itu merupakan ajaran atau sunnah para nabi dan rasul Allah. Sayangnya, ini pun ternyata hanya berlaku di kalangan Komandan Wilayah saja. Artinya, bagi jama’ah tetap harus berorientasi kepada keputusan/petunjuk (qoror) komandan. Karena qoror atau ketetapan/juklak adalah representasi dari Al-Qur’an, sehingga tidak perlu lagi merujuk dan mengikuti Al-Qur’an.
Akibatnya kewajiban dan tanggung jawab terhadap tazkiyyatul aqidah-pemikiran menjadi sama sekali tak tersentuh, namun yang terjadi adalah lahirnya program-gerakan takhbitsatul Aqidah-Pemikiran (pengkotoran/pembusukan pemikiran), sehingga dalam praktek berfikir dan beraqidah tidak perlu ada lagi disiplin ilmu baik yang berdimensi-standard wahyu maupun nubuwah serta salafiyah. Bahkan praktek pemberhalaan justru banyak terjadi, demikian pula praktek ta’wil dan tasyabbuh terhadap Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang sebenarnya adalah nash yang qath’i (pasti), sharih (jelas) dan bayyin (terang atau nyata). Sebagai contoh, ini terbukti terdapat dalam majalah Al-Zaytun edisi 11-2000 halaman 31, dalam rubrik Khas Ramadlan “Mengambil Hikmah Bulan Ramadlan” oleh Syamsi Rendra, konsep dan penjelasan tentang Tauhid yang sangat rancu dan asing. Antara lain menyebutkan sebagai berikut:
Sedangkan perumpamaan seseorang yang bertaqwa termaktub sebagaimana firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 24-25, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Rabbnya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat."
Dari ayat tersebut di atas Allah telah jelas dan gamblang menjelaskan bahwa syarat untuk mendapatkan pohon yang baik adalah dengan akar, batang dan buah. Bila syarat tersebut terpenuhi maka barulah penanamnya akan mendapatkan hasil panennya. Lebih jauh secara filosofis perumpamaan tersebut merupakan cerminan rububiyah (akar), mulkiyah (batang) dan uluhiyah (buah). Dengan demikian segala bentuk kebaikan seperti tercermin dalam ayat tersebut haruslah berbentuk suatu aturan atau undang-undang (rububiah), negara (mulkiah) dan umat (uluhiah). Apabila sebuah tatanan telah memenuhi tiga syarat tersebut maka berhaklah umat menyandang gelar taqwa.[7]
Inilah gambaran dan bukti konkret dari rusak, sesat dan menyesatkannya komunitas Al-Zaytun di dalam memberikan ta'wil tentang konsep tauhid secara serampangan, ini telah menunjukkan tentang betapa indisiplinernya mereka terhadap disiplin ilmu tafsir maupun terhadap paradigma masyarakat Nabi SAW dan shahabat ra. Padahal Allah telah menetapkan dan menghendaki agar setiap umat Muhammad hendaknya menjadi pembela, penjaga dan pengagung agama-Nya sebagaimana dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Kami mengutusmu Muhammad sebagai saksi dan memberi khabar gembira serta peringatan agar mereka beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya serta memperkuat (agama)-Nya, memuliakan-Nya dan mensucikan-Nya. "(QS. 48:8-9).
Di dalam sejarah Islam, pola dan target utama awal pembinaan adalah konsentrasi pada pembangunan dan pembinaan sektor aqidah sebagai faktor persiapan dan kesiapan diri untuk menjadi mu' min dan sebagai subjek serta agen perubahan, pelaku kesadaran yang aktif untuk tunduk, merujuk, ittiba’ dan istiqamah serta ta'dzim (mengagungkan syari'at) secara bersinambungan dan lazim kepada Allah dan rasul-Nya atau bisa juga disebut sebagai perwujudan dari sifat pengabdian yang senantiasa mukhlish dan muhsin, yang kemudian berlanjut ke tahap takwin, Bina u asy-Syakhsiyah dan Tandzhimu al Jama’ah (al Ummah). Dengan target mencapai tingkat kesadaran kemukminan sebagai berikut: [8]
1. Yang murni dan bersih (al-Zakiyyu), ikhlash keimanan ruhiyah/qalbunya dari seluruh ihwal syirik (Akbar: al-watsan, thaghut wal andad; al-ashghar: ghairu liwajhillah, riya' wa al-sum'ah) dan mukhlish pula kesadaran-aqidah dan akalnya dari ihwal ta'wil ataupun mutasyabihat. Mukhlish dan Muhsin kesadaran Iman terhadap Rububiyah, Uluhiyah, Asma’ dan Sifat Allah, sehingga muncul komitmen (tanggung-jawab) untuk mengabdi kepada Allah dengan memberikan kepatuhan, ketaatan, ketundukan dan kepasrahan terhadap Syari'at, Akhlaq dan Iqamatu ad Dien seraya mengharapkan Maghfirah, Rahmat, karunia dan Keridlaan-Nya secara terus menerus (istimrar) dan konsisten,[9] sehingga terpeliharalah dari kekuasaan iblis yang terus-menerus berupaya menyesatkannya.
2. Tuma'ninah dan muthma'innah (dalam Syakhshiyatu al-Islaimyah), keimanan yang mampu mempertautkan kesadaran ruh (qolb) dengan pemikiran dan gerak fisiknya hanya untuk dan dalam rangka beribadah kepada Allah semata dalam wujud aktivitas shalat, dzikr, ta'lim dan tilawah serta kedermawanan (Shadaqah) secara mukhlish dan muhsin, kokoh dan istiqamah dalam sikap yang senantiasa menjauhi atau membersihkan diri dari anasir kezhaliman, sehingga tidak tergoyahkan oleh adanya ujian maupun bencana serta urusan kebutuhan pribadi ataupun keluarga, sehingga terpeliharalah ia dari tuntutan dan belenggu nafsunya sendiri atas jaminan perlindungan serta pertolongan Allah.
3. AI-Muraqabatu wa an-Najiyyah, keimanan yang Wiqayah wal Itqani (Taqwa bi al-Wara' dan Salamatu ash-Shadr bi al-Zuhud) sehingga mampu dan awas terhadap hadirnya anasir syirk al-ashghar maupun al-Firaq (memisahkan diri), al-Ahwa’ (memperturutkan nafsu untuk memburu eksistensi) serta al-Bida’ (sektarian) sehingga sehingga terpelihara dari sifat dan perilaku serta mampu mengantisipasi perilaku Hizbiyyah wa al-'Ashabiyyah. (bi al-Ukhuwwah Islamiyah walaisa bi al-Ukhuwwah Jama'ah).
4. Al 'Izzah wa al-Muntijah (bi al-Jama'ah Islamiyah/Jama'atu minal Muslimin), keimanan yang senantiasa Mujahadah Lii’lai kalimatillah bi al 'Amilush-Shalih wa al-jihad (sehingga memperoleh jaminan: yadulllahi ma'al Jama'ah/yadullahi fauqa aidihim) terpelihara dari dan menang terhadap tipu-daya maupun kejahatan serta kedengkian al-Kuffar wal Munafiqqin, bi an Nushrah wa 'Aunil’llah.
Tazkiyyah di bidang Ruhiyyah-Bathiniyah disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul SAW antara lain: "Sungguh keberuntunganlah bagi siapa yang membersihkan jilwa (ruh atau bathin)nya dan kecelakaanlah bagi siapa yang mengotorinya. "(QS. 91:9-10).
"Maka adapun orang yang sewenang-wenang (melampaui batas) dan mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya neraka jahimlah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang khawatir terhadap maqam Rabb-nya serta menahan jiwanya dari keinginan nafsunya, maka maka sesungguhnya sorgalah tempat tinggahya." (QS. 37:41).
Bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya Allah berfirman dalam hadits qudsi: "Allah mewahyukan kepada Dawud as.: Katakanlah kepada orang-orang yang melakukan kezhaliman, janganlah kalian berdzikir kepada-Ku, karena sesungguhnya Aku memperhatikan orang-orang yang berdzikir kepada-Ku, namun sesungguhnya dzikir-Ku terhadap mereka (yang melakukan kezhaliman) adalah untuk melaknat mereka. " (HR Al Hakim, Ad Dailami dan Ibnu Asakir, bersumber dari Ibnu Abbas).
"Allah telah mewahyukan kepadaku: Wahai saudara-saudara para rasul,wahai saudara-saudara para pemberi peringatan, berilah kaummu peringatan, bahwa janganlah mereka memasuki rumah-rumah di antara rumah-rumah-Ku kecuali dengan hati yang selamat, lidah yang jujur-benar, tangan yang bersih, dan kemaluan yang suci. Dan janganlah mereka memasuki rumah-rumah-Ku padahal salah seorang dari para hamba-Ku terhadap seseorang diantara mereka berlaku zhalim. Karena sesungguhnya Aku akan melaknatnya selama ia berdiri melakukan shalat di hadapan-Ku hingga ia kembalikan hasil aniayaannya itu kepada pemiliknya. "(HR Abu Nu'aim, Hakim, Ad Dailami dan lbnu Asakir).
Sedangkan dalam NII, masalah tazkiyatu arRuh dan al-Qolb justru sama sekali tidak diajarkan, oleh karenanya sikap dan tindakan ananiya maupun taqlid buta serta 'ashabiyah adalah cacat bawaan mereka. Artinya, berbuat zhalim serta melakukan kezhaliman memang adalah watak dan kebiasaan mereka. Sebab doktrin yang mereka terima menyatakan, terhitung sejak seseorang bersedia menerima dan kemudian bergabung dengan NII yang disahkan melalui musyahadah (Bai'at) dan memenuhi berbagai persyaratan lainnya seperti tazkiyah baitiyah, shadaqah musyahadah dan lain sebagainya, maka mulai detik itu dia bagaikan orang yang baru dilahirkan dari rahim ibunya, suci, Mukmin dan langsung sebagai orang yang shalih yang berhak untuk mewarisi (menguasai) bumi.
Tentang tazkiyyah di bidang fisik (pengamalan iman dan Islam), Allah dan rasul-Nya menetapkan bahwa paradigma beribadah yang baik dan benar itu adalah harus mengikuti dan berdasarkan perintah serta contoh yang dilaksanakan Nabi dan para shahabatnya.
"Kewajiban kamu sekalian adalah melaksanakan sunnahku dan sunnah para khalifahku (khulafaur Rasyidin), gigitlah hal itu kuat-kuat dengan gigi gerahammu" (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
"Siapa yang melakukan suatu perbuatan tidak didasarkan pada perintahku, maka perbuatannya tertolak."(HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Tazkiyyah fisik yang dipraktekkan oleh kalangan NII khususnya NII Abu Toto KW-9 atau NII AI-Zaytun sama sekali bukan dengan cara mengikuti disiplin amal Islami, yaitu tertib dan disiplin terhadap rukun lahiriyah manhaji dalam melaksanakan peribadatan atau amal shalih, akan tetapi tazkiyyah fisik yang mereka terapkan adalah tazkiyyah serba melalui tebusan dan pembayaran dengan uang atau harta lainnya, yang lazim dikenal dan hanya berlaku di kalangan Kristiani, Yahudi maupun Majusi.
Maka sangat tidak mengherankan bila dalam NII KW-9 atau gerakan sesat NII AI-Zaytun, seseorang yang ingin menjadi baik, benar dan suci serta Islami tidak perlu repot-repot, gampang saja, ta'at dan turuti perintah maupun penjelasan pimpinan beserta aparatnya, apapun bentuk perintah maupun penjelasan mereka, itu telah sama dengan beribadah serta melaksanakan tazkiyah. Na'udzubillahi tsumma na'udzubillahimin dzalik![10]
Menciptakan periodesasi 'paradoksa', yakni rancu, serampangan dan sangat inkonsisten dalam pelaksanaan Islam. Periode Makkah sebagai periode Kahfi (sirriyatud da'wah, 'ubudiyyah dan tandzhim: merahasiakan da'wah, peribadatan mahdliyyah dan kelembagaan). Namun dalam waktu yang bersamaan dalam doktrin yang diajarkan tiba-tiba telah ada Madinah, wajib hijrah, wajib jihad, wajib bai'ah (jama 'ah, imamah dan tha 'ah) wajib infaq fie sabilillah dan berbagai tanggungan serta kewajiban di masa nabi dan para sahabat (masyarakat madinah yang sebenarnya) tidak pernah mewajibkannya, hanya dengan melalui qoror-qoror dan perintah Imam yang dalam prakteknya berkekuatan hukum lebih tmggi dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka sangat luar biasa sekali kesesatan dan penyesatan yang mereka lakukan tersebut.
Konsekuensi periodesasi di atas mengakibatkan munculnya paham tarikush shalat (meninggalkan shalat) atau paling tidak menyia-nyiakan shalat menjadi trend atau gaya keberagamaan mereka dengan banyak alasan, diantaranya:
a. Belum diwajibkan.
b. Lebih mengutamakan arti dan hakekat shalat.
c. Aktivitas tilawah, tazkiyah, ta'lim dan tartib dan lain sebagainya diyakinkan memiliki nilai sama dengan telah mengerjakan shalat.[11]
d. Dzikir/wirid dan da'wah yang dikembangkan dalam doktrin KW-9 adalah melakukan syuro atau briefing membahas seluruh program negara agar berhasil.[12] Itu dianggap lebih penting daripada shalat.
Pelaksanaan shaum Ramadlan wajib dilaksanakan, namun ketentuan waktu berbuka (ifthar) ditetapkan satu jam sebelum waktu maghrib tiba. Sedangkan waktu sahur atau batas waktu larangan makan dan minum ditetapkan pada waktu terbit matahari. Bagi mereka yang tertidur, diperbolehkan sahur di saat mereka terjaga, sekalipun misalnya sudah pukul 8.00 wib. Adapun shalat tarawih, tidak perlu dilaksanakan. Praktek menyimpang seperti ini memang tidak akan didapati dalam kompleks dan komunitas Ma’had Al-Zaytun sekarang, karena doktrin dan praktek keagamaan tersebut berlaku efektif sejak sekitar 1987-1988 di kalangan jama'ah atau warga NII KW-9 (NII Abu Toto) yang berada di luar Ma'had Al-Zaytun sampai sekarang.
Menetapkan pemahaman, status masa (situasional/kondisional) Madinah NII saat ini terhadap rezim Orde Baru sebagai masa Hudaibiyah, hal ini berlaku sejak tahun 1962, atau sejak tertangkapnya Kartosoewirjo. Yang kemudian mengeluarkan seruan kepada para Mujahidin TII untuk menghentikan perlawanan (jihad fie sabililIah) terhadap pemerintah RI dan dialihkan menjadi Jihad Fillah, yang maksudnya adalah Dakwah.[13]
Memahamkan terhadap hadits tentang Firqatu an-Najiyah adalah merupakan jelmaan atau personifikasi dan sari-pati, hasil perasaan ahlul firqah yang berjumlah 73 kelompok, sebagaimana yang disabdakan Nabi saw. Berdasarkan logika, Firqah yang selamat, tadinya juga berasal dari 73 kelompok yang sesat tersebut. Maka pantas saja bila NII KW-9 pada akhirnya muncul sebagai kelompok firqah sesat yang paling zhalim dan kejam di antara firqah- firqah yang ada di muka bumi selama ini.
Perusakan iman lainnya antara lain di dalam pelaksanaan tilawah atau ta’lim, indoktrinasi lebih ditekankan kepada jasa dan perjuangan serta usaha Kartosoewirjo di dalam menegakkan Daulah Islamiyah dan menentang atau memerangi Penguasa Jahiliyyah (RI) maupun penjajah (Kolonial Belanda dan Jepang). Praktek kesadaran bertauhid dalam mengaplikasikan al Wala’ dan al Bara’ lebih diacukan kepada perwujudan yang telah dilakukan oleh Kartosoewirjo dan NII, yang digambarkan sabar, gigih dan istiqamah. Pada akhirnya baik qiyadah maupun uswah dalam pelaksanaan iman dan Islam menurut doktrin NII tidak ada yang lain yang lebih tepat dan patut kecuali diberikan kepada Kartosoewirjo, Imam pertama Negara Islam Indonesia dan para pelanjut estafeta kepemimpinan NII. Secara otomatis dalam waktu yang bersamaan, bersikap membenci, menentang dan melepaskan terhadap setiap ikatan non-Islam (non-NII) atau sistem Jahiliyyah, apapun bentuknya adalah suatu keharusan yang mutlak dan absolut.
Inilah efek tragis dari doktrin mulkiyah yang sesungguhnya telah nyata-nyata mulhid, keluar dari rel tauhid yang benar. Disebut mulhid, karena doktrin itu mengajak kepada upaya melepaskan diri dari kewajiban dan tanggung jawab untuk tetap menjaga komitmen dan konsistensi dalam memberikan ketha’atan kepada Rasul SAW dan Khulafa ur Rasyidin (Tauhid al Ittiba’). Sebaliknya, hanya mencukupkan diri ittiba’ kepada figuritas dan prestasi al Mubtadi’ Kartosoewirjo yang sama sekali tidak memiliki legitimasi Qur’ani dan Haditsi di dalam melaksanakan peribadatan – fiqh ‘ibadah, muamalah & harakah. Doktrin itu disadari atau tidak telah membawa kepada sikap keberagamaan yang primordial paganistis seperti layaknya agama Abana (agama nenek moyang) yang jauh dari Iman serta keikhlashan. Akar pemahaman dan tafsir sesat yang lucu dan liar ini kemudian disandarkan pada ayat yang suci dan luhur di bawah ini:[6]
“Sungguh telah ada bagi kalian contoh dan teladan yang baik dalam diri Rasulullah SAW, bagi orang-orang yang mengharap pertemuan dengan Allah dan hari akhir.” (QS 33:21).
Penekanan pada metode brain washing dalam tilawah, tazkiyah maupun ta’lim dalam rangka memasukkan nilai-nilai simbolik dalam beragama (yang ternyata telah di-degradasi), akibatnya konsep Tazkiyyah yang meliputi dimensi Aqidah-Pemikiran, dimensi Ruhiyah-Bathiniyah dan dimensi Ruhiyah-Bathiniyah dan dimensi Fisik-Pengamalan ibadah tidak saja mengalami distorsi, tapi malah lebih parah lagi yaitu memasuki wilayah kekeliruan tafsir yang menghasilkan pseudo conclution.
Tazkiyah di bidang Aqidah-Pemikiran tidak lagi diacu kepada sikap yang merujuk dan ittiba’ terhadap apa yang ditetapkan dan dikehendaki oleh wahyu maupun nubuwwah --atau upaya rasionalisasi sebagai pembelaan dan menjaga kemurnian serta keagungan dari para hamba dan makhluq-Nya terhadap nilai dan prinsip Iman maupun Islam-- sebagaimana keteladanan yang dicontohkan oleh para shahabat Rasul SAW serta para salaf. Akan tetapi, oleh NII (khususnya NII KW-9), masalah aqidah-akal pemikiran justru malah dibebaskan untuk mencari dan melakukan kreasi dalam berpikir serta memikirkan bagaimana bisa mendzhahirkan Iman dan Islam menurut kemampuan masing-masing sebagai manusia, asalkan itu merupakan ajaran atau sunnah para nabi dan rasul Allah. Sayangnya, ini pun ternyata hanya berlaku di kalangan Komandan Wilayah saja. Artinya, bagi jama’ah tetap harus berorientasi kepada keputusan/petunjuk (qoror) komandan. Karena qoror atau ketetapan/juklak adalah representasi dari Al-Qur’an, sehingga tidak perlu lagi merujuk dan mengikuti Al-Qur’an.
Akibatnya kewajiban dan tanggung jawab terhadap tazkiyyatul aqidah-pemikiran menjadi sama sekali tak tersentuh, namun yang terjadi adalah lahirnya program-gerakan takhbitsatul Aqidah-Pemikiran (pengkotoran/pembusukan pemikiran), sehingga dalam praktek berfikir dan beraqidah tidak perlu ada lagi disiplin ilmu baik yang berdimensi-standard wahyu maupun nubuwah serta salafiyah. Bahkan praktek pemberhalaan justru banyak terjadi, demikian pula praktek ta’wil dan tasyabbuh terhadap Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang sebenarnya adalah nash yang qath’i (pasti), sharih (jelas) dan bayyin (terang atau nyata). Sebagai contoh, ini terbukti terdapat dalam majalah Al-Zaytun edisi 11-2000 halaman 31, dalam rubrik Khas Ramadlan “Mengambil Hikmah Bulan Ramadlan” oleh Syamsi Rendra, konsep dan penjelasan tentang Tauhid yang sangat rancu dan asing. Antara lain menyebutkan sebagai berikut:
Sedangkan perumpamaan seseorang yang bertaqwa termaktub sebagaimana firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 24-25, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Rabbnya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat."
Dari ayat tersebut di atas Allah telah jelas dan gamblang menjelaskan bahwa syarat untuk mendapatkan pohon yang baik adalah dengan akar, batang dan buah. Bila syarat tersebut terpenuhi maka barulah penanamnya akan mendapatkan hasil panennya. Lebih jauh secara filosofis perumpamaan tersebut merupakan cerminan rububiyah (akar), mulkiyah (batang) dan uluhiyah (buah). Dengan demikian segala bentuk kebaikan seperti tercermin dalam ayat tersebut haruslah berbentuk suatu aturan atau undang-undang (rububiah), negara (mulkiah) dan umat (uluhiah). Apabila sebuah tatanan telah memenuhi tiga syarat tersebut maka berhaklah umat menyandang gelar taqwa.[7]
Inilah gambaran dan bukti konkret dari rusak, sesat dan menyesatkannya komunitas Al-Zaytun di dalam memberikan ta'wil tentang konsep tauhid secara serampangan, ini telah menunjukkan tentang betapa indisiplinernya mereka terhadap disiplin ilmu tafsir maupun terhadap paradigma masyarakat Nabi SAW dan shahabat ra. Padahal Allah telah menetapkan dan menghendaki agar setiap umat Muhammad hendaknya menjadi pembela, penjaga dan pengagung agama-Nya sebagaimana dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Kami mengutusmu Muhammad sebagai saksi dan memberi khabar gembira serta peringatan agar mereka beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya serta memperkuat (agama)-Nya, memuliakan-Nya dan mensucikan-Nya. "(QS. 48:8-9).
Di dalam sejarah Islam, pola dan target utama awal pembinaan adalah konsentrasi pada pembangunan dan pembinaan sektor aqidah sebagai faktor persiapan dan kesiapan diri untuk menjadi mu' min dan sebagai subjek serta agen perubahan, pelaku kesadaran yang aktif untuk tunduk, merujuk, ittiba’ dan istiqamah serta ta'dzim (mengagungkan syari'at) secara bersinambungan dan lazim kepada Allah dan rasul-Nya atau bisa juga disebut sebagai perwujudan dari sifat pengabdian yang senantiasa mukhlish dan muhsin, yang kemudian berlanjut ke tahap takwin, Bina u asy-Syakhsiyah dan Tandzhimu al Jama’ah (al Ummah). Dengan target mencapai tingkat kesadaran kemukminan sebagai berikut: [8]
1. Yang murni dan bersih (al-Zakiyyu), ikhlash keimanan ruhiyah/qalbunya dari seluruh ihwal syirik (Akbar: al-watsan, thaghut wal andad; al-ashghar: ghairu liwajhillah, riya' wa al-sum'ah) dan mukhlish pula kesadaran-aqidah dan akalnya dari ihwal ta'wil ataupun mutasyabihat. Mukhlish dan Muhsin kesadaran Iman terhadap Rububiyah, Uluhiyah, Asma’ dan Sifat Allah, sehingga muncul komitmen (tanggung-jawab) untuk mengabdi kepada Allah dengan memberikan kepatuhan, ketaatan, ketundukan dan kepasrahan terhadap Syari'at, Akhlaq dan Iqamatu ad Dien seraya mengharapkan Maghfirah, Rahmat, karunia dan Keridlaan-Nya secara terus menerus (istimrar) dan konsisten,[9] sehingga terpeliharalah dari kekuasaan iblis yang terus-menerus berupaya menyesatkannya.
2. Tuma'ninah dan muthma'innah (dalam Syakhshiyatu al-Islaimyah), keimanan yang mampu mempertautkan kesadaran ruh (qolb) dengan pemikiran dan gerak fisiknya hanya untuk dan dalam rangka beribadah kepada Allah semata dalam wujud aktivitas shalat, dzikr, ta'lim dan tilawah serta kedermawanan (Shadaqah) secara mukhlish dan muhsin, kokoh dan istiqamah dalam sikap yang senantiasa menjauhi atau membersihkan diri dari anasir kezhaliman, sehingga tidak tergoyahkan oleh adanya ujian maupun bencana serta urusan kebutuhan pribadi ataupun keluarga, sehingga terpeliharalah ia dari tuntutan dan belenggu nafsunya sendiri atas jaminan perlindungan serta pertolongan Allah.
3. AI-Muraqabatu wa an-Najiyyah, keimanan yang Wiqayah wal Itqani (Taqwa bi al-Wara' dan Salamatu ash-Shadr bi al-Zuhud) sehingga mampu dan awas terhadap hadirnya anasir syirk al-ashghar maupun al-Firaq (memisahkan diri), al-Ahwa’ (memperturutkan nafsu untuk memburu eksistensi) serta al-Bida’ (sektarian) sehingga sehingga terpelihara dari sifat dan perilaku serta mampu mengantisipasi perilaku Hizbiyyah wa al-'Ashabiyyah. (bi al-Ukhuwwah Islamiyah walaisa bi al-Ukhuwwah Jama'ah).
4. Al 'Izzah wa al-Muntijah (bi al-Jama'ah Islamiyah/Jama'atu minal Muslimin), keimanan yang senantiasa Mujahadah Lii’lai kalimatillah bi al 'Amilush-Shalih wa al-jihad (sehingga memperoleh jaminan: yadulllahi ma'al Jama'ah/yadullahi fauqa aidihim) terpelihara dari dan menang terhadap tipu-daya maupun kejahatan serta kedengkian al-Kuffar wal Munafiqqin, bi an Nushrah wa 'Aunil’llah.
Tazkiyyah di bidang Ruhiyyah-Bathiniyah disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul SAW antara lain: "Sungguh keberuntunganlah bagi siapa yang membersihkan jilwa (ruh atau bathin)nya dan kecelakaanlah bagi siapa yang mengotorinya. "(QS. 91:9-10).
"Maka adapun orang yang sewenang-wenang (melampaui batas) dan mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya neraka jahimlah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang khawatir terhadap maqam Rabb-nya serta menahan jiwanya dari keinginan nafsunya, maka maka sesungguhnya sorgalah tempat tinggahya." (QS. 37:41).
Bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya Allah berfirman dalam hadits qudsi: "Allah mewahyukan kepada Dawud as.: Katakanlah kepada orang-orang yang melakukan kezhaliman, janganlah kalian berdzikir kepada-Ku, karena sesungguhnya Aku memperhatikan orang-orang yang berdzikir kepada-Ku, namun sesungguhnya dzikir-Ku terhadap mereka (yang melakukan kezhaliman) adalah untuk melaknat mereka. " (HR Al Hakim, Ad Dailami dan Ibnu Asakir, bersumber dari Ibnu Abbas).
"Allah telah mewahyukan kepadaku: Wahai saudara-saudara para rasul,wahai saudara-saudara para pemberi peringatan, berilah kaummu peringatan, bahwa janganlah mereka memasuki rumah-rumah di antara rumah-rumah-Ku kecuali dengan hati yang selamat, lidah yang jujur-benar, tangan yang bersih, dan kemaluan yang suci. Dan janganlah mereka memasuki rumah-rumah-Ku padahal salah seorang dari para hamba-Ku terhadap seseorang diantara mereka berlaku zhalim. Karena sesungguhnya Aku akan melaknatnya selama ia berdiri melakukan shalat di hadapan-Ku hingga ia kembalikan hasil aniayaannya itu kepada pemiliknya. "(HR Abu Nu'aim, Hakim, Ad Dailami dan lbnu Asakir).
Sedangkan dalam NII, masalah tazkiyatu arRuh dan al-Qolb justru sama sekali tidak diajarkan, oleh karenanya sikap dan tindakan ananiya maupun taqlid buta serta 'ashabiyah adalah cacat bawaan mereka. Artinya, berbuat zhalim serta melakukan kezhaliman memang adalah watak dan kebiasaan mereka. Sebab doktrin yang mereka terima menyatakan, terhitung sejak seseorang bersedia menerima dan kemudian bergabung dengan NII yang disahkan melalui musyahadah (Bai'at) dan memenuhi berbagai persyaratan lainnya seperti tazkiyah baitiyah, shadaqah musyahadah dan lain sebagainya, maka mulai detik itu dia bagaikan orang yang baru dilahirkan dari rahim ibunya, suci, Mukmin dan langsung sebagai orang yang shalih yang berhak untuk mewarisi (menguasai) bumi.
Tentang tazkiyyah di bidang fisik (pengamalan iman dan Islam), Allah dan rasul-Nya menetapkan bahwa paradigma beribadah yang baik dan benar itu adalah harus mengikuti dan berdasarkan perintah serta contoh yang dilaksanakan Nabi dan para shahabatnya.
"Kewajiban kamu sekalian adalah melaksanakan sunnahku dan sunnah para khalifahku (khulafaur Rasyidin), gigitlah hal itu kuat-kuat dengan gigi gerahammu" (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
"Siapa yang melakukan suatu perbuatan tidak didasarkan pada perintahku, maka perbuatannya tertolak."(HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Tazkiyyah fisik yang dipraktekkan oleh kalangan NII khususnya NII Abu Toto KW-9 atau NII AI-Zaytun sama sekali bukan dengan cara mengikuti disiplin amal Islami, yaitu tertib dan disiplin terhadap rukun lahiriyah manhaji dalam melaksanakan peribadatan atau amal shalih, akan tetapi tazkiyyah fisik yang mereka terapkan adalah tazkiyyah serba melalui tebusan dan pembayaran dengan uang atau harta lainnya, yang lazim dikenal dan hanya berlaku di kalangan Kristiani, Yahudi maupun Majusi.
Maka sangat tidak mengherankan bila dalam NII KW-9 atau gerakan sesat NII AI-Zaytun, seseorang yang ingin menjadi baik, benar dan suci serta Islami tidak perlu repot-repot, gampang saja, ta'at dan turuti perintah maupun penjelasan pimpinan beserta aparatnya, apapun bentuk perintah maupun penjelasan mereka, itu telah sama dengan beribadah serta melaksanakan tazkiyah. Na'udzubillahi tsumma na'udzubillahimin dzalik![10]
Menciptakan periodesasi 'paradoksa', yakni rancu, serampangan dan sangat inkonsisten dalam pelaksanaan Islam. Periode Makkah sebagai periode Kahfi (sirriyatud da'wah, 'ubudiyyah dan tandzhim: merahasiakan da'wah, peribadatan mahdliyyah dan kelembagaan). Namun dalam waktu yang bersamaan dalam doktrin yang diajarkan tiba-tiba telah ada Madinah, wajib hijrah, wajib jihad, wajib bai'ah (jama 'ah, imamah dan tha 'ah) wajib infaq fie sabilillah dan berbagai tanggungan serta kewajiban di masa nabi dan para sahabat (masyarakat madinah yang sebenarnya) tidak pernah mewajibkannya, hanya dengan melalui qoror-qoror dan perintah Imam yang dalam prakteknya berkekuatan hukum lebih tmggi dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka sangat luar biasa sekali kesesatan dan penyesatan yang mereka lakukan tersebut.
Konsekuensi periodesasi di atas mengakibatkan munculnya paham tarikush shalat (meninggalkan shalat) atau paling tidak menyia-nyiakan shalat menjadi trend atau gaya keberagamaan mereka dengan banyak alasan, diantaranya:
a. Belum diwajibkan.
b. Lebih mengutamakan arti dan hakekat shalat.
c. Aktivitas tilawah, tazkiyah, ta'lim dan tartib dan lain sebagainya diyakinkan memiliki nilai sama dengan telah mengerjakan shalat.[11]
d. Dzikir/wirid dan da'wah yang dikembangkan dalam doktrin KW-9 adalah melakukan syuro atau briefing membahas seluruh program negara agar berhasil.[12] Itu dianggap lebih penting daripada shalat.
Pelaksanaan shaum Ramadlan wajib dilaksanakan, namun ketentuan waktu berbuka (ifthar) ditetapkan satu jam sebelum waktu maghrib tiba. Sedangkan waktu sahur atau batas waktu larangan makan dan minum ditetapkan pada waktu terbit matahari. Bagi mereka yang tertidur, diperbolehkan sahur di saat mereka terjaga, sekalipun misalnya sudah pukul 8.00 wib. Adapun shalat tarawih, tidak perlu dilaksanakan. Praktek menyimpang seperti ini memang tidak akan didapati dalam kompleks dan komunitas Ma’had Al-Zaytun sekarang, karena doktrin dan praktek keagamaan tersebut berlaku efektif sejak sekitar 1987-1988 di kalangan jama'ah atau warga NII KW-9 (NII Abu Toto) yang berada di luar Ma'had Al-Zaytun sampai sekarang.
Menetapkan pemahaman, status masa (situasional/kondisional) Madinah NII saat ini terhadap rezim Orde Baru sebagai masa Hudaibiyah, hal ini berlaku sejak tahun 1962, atau sejak tertangkapnya Kartosoewirjo. Yang kemudian mengeluarkan seruan kepada para Mujahidin TII untuk menghentikan perlawanan (jihad fie sabililIah) terhadap pemerintah RI dan dialihkan menjadi Jihad Fillah, yang maksudnya adalah Dakwah.[13]
Memahamkan terhadap hadits tentang Firqatu an-Najiyah adalah merupakan jelmaan atau personifikasi dan sari-pati, hasil perasaan ahlul firqah yang berjumlah 73 kelompok, sebagaimana yang disabdakan Nabi saw. Berdasarkan logika, Firqah yang selamat, tadinya juga berasal dari 73 kelompok yang sesat tersebut. Maka pantas saja bila NII KW-9 pada akhirnya muncul sebagai kelompok firqah sesat yang paling zhalim dan kejam di antara firqah- firqah yang ada di muka bumi selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar